Menjemput Impian -->

Header Menu

Menjemput Impian

Minggu, 06 Januari 2013

“Ya sudah kalau kamu gak mau, silahkan kuliah di Gajah Mada, tapi cari biaya sendiri. Bapak sudah nggak kuat ngragati kamu. Ambil keputusan sekarang, mumpung belum banyak biaya yang Bapak keluarkan!  Suara bapakku meninggi, wajahnya memerah. Kemudian beliau bergegas meninggalkan aku yang masih terpaku berdiri.  Beberapa orang yang kebetulan berada di dekat kami memandangiku dengan berbagai ekspresi. Aku tertunduk. Suasana di belakang kampus STAN Purnawarman yang sangat teduh tak kuasa menghalau kegundahan hatiku.

Ultimatum Bapak membuatku tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti kehendak beliau untuk kuliah di STAN.  Namun disisi lain ke-akuanku bertahan. Aku ini anak mama, bagaimana mungkin aku membiayai sendiri kuliahku di UGM? Terbayangpun tidak bagaimana bisa mencari uang dan hidup mandiri. Justru hidup mandiri itulah yang membuatku keberatan untuk masuk STAN.  Pikiranku sama sekali belum bisa menerima, tiba-tiba aku harus hidup sendiri, kost,  jauh dari keluarga. Tak ada sanak Saudara pula. Pola pikirku sebagai anak rumahan belum siap – tiba-tiba aku harus bangun pagi sendiri, mikirin sarapan pagi sendiri, mencuci sendiri, kemungkinan kehabisan uang karena kiriman belum datang, belum lagi kalau sakit, siapa yang harus mengantar berobat,  dan mungkin hanya bisa pulang sekali dalam enam bulan.

Aku menunduk, terbayang jelas ketiga kakak-ku yang sekarang belum bisa membantu Bapak, mereka semua masih kuliah. Kakakku yang pertama memang sudah lulus dari Kedokteran UGM, tapi masih koast (praktek magang). Entah kapan bisa berkontribusi membiayai sekolah adik-adiknya. Kakak yang kedua dan ketiga juga di UGM dan yang jelas, pasti masih lama lulusnya.
“Ah, nasib-nasib” gerutuku dalam hati. Giliran aku yang harus kuliah, alokasi anggaran Bapak untuk pendidikan anak-anaknya sudah melewati batas. Tak heran Bapak sangat bersemangat mendorong aku untuk mendaftar di STAN, katanya sekolahnya gratis, cepat bekerja, masa depan terjamin, bla-bla-bla… “Kenapa juga aku harus jadi anak ke empat!, Kenapa juga mesti di terima di STAN”  lanjutku, masih dalam hati.

Diam-diam aku melirik dan mencari-cari di mana Bapak berada. Meskipun aku yakin beliau tidak akan meninggalkanku sendirian di Jakarta yang asing ini, tapi terbersit juga kekhawatiran itu! Bisa berabe nih kalau ditinggal sendirian. Mana aku nggak pernah pegang uang lagi. Belum dipercaya! Ternyata beliau duduk di salah satu warung di ujung jalan, kira-kira 50  meter dari tempatku berdiri. Mungkin jajan minuman. Aku tersenyum. Berarti beliau masih menunggu, biarin saja, aku akan bertahan di sini. Aku masih mau ngambek lagi, siapa tahu beliau luluh dan mengijinkan aku kuliah di UGM. Dan membiayai juga maksudku! Aku yakin beliau nanti akan balik lagi ke sini.

Aku merogoh-rogoh saku celanaku.. siapa tahu ada uang receh. Haa… dapat!  Aku hitung – ada tiga ribu rupiah! Aku bergegas minggir dan memilih salah satu warung terdekat. Aku duduk dan memesan Teh Botol.  Si Abang dengan cekatan segera membukakan satu teh botol dan menyodorkannya di hadapanku! Kebetulan di warung itu hanya ada dua pembeli yang sedang makan soto, dan sudah terlayani.

“Makasih bang” Ucapku. Tak lama kemudian dinginnya teh botol segera membasahi kerongkonganku. Sedikit menyejukkan ditegah kegalauan hatiku. Tiba-tiba si Abang  bertanya, sok akrab “Daftar Ulang ya Mas?” “Iya.” Jawabku pendek dengan nada yang menyiratkan untuk tidak memperpanjang percakapan. “Jurusan apa Mas?” Si Abang ternyata melanjutkan pertanyaannya. “Pajak” Jawabku, lagi-lagi singkat dan datar. Eh ternyata si Abang nggak pernah sekolah komunikasi kali ya, dia masih melajutkan dengan gaya sok menasihati lagi..

“Enak tu mas, sekolah di situ.. Yang dah pada lulus sudah ketahuan – semuanya jadi orang kaya! Mana kuliahnya gratis lagi, buku-buku dikasih, diongkosin pula! Ahh seandainya saja aku yang lulus di situ, Bapak-ku pasti nanggep wayang semalam suntuk!” Ocehnya..
Dalam hati aku berkata, nanggep wayang di mana-mana juga semalam suntuk Bang…!

“Disyukurin aja, gak usah dipikirin, jauh dari keluarga itu biasa! Lama-lama Mas akan jadi anak yang tangguh, ndak manja! Saya aja merantau tanpa bekal, SMP aja gak lulus.. eh namanya rejeki – ya ada aja buat sekedar hidup di Jakarta!”

Aku terkesiap! Dari mana si Abang tahu aku sedang mikirin soal ini? Aku lirik dia, usianya setengah baya, dan dari dialegnya memang perantauan asal Jawa Tengah juga. Tau aku sedang memperhatikan,  dia nyeletuk lagi, “Banyak lho yang nagnis-nangis kemarin pas lihat pengumuman tidak diterima!” Dia menatapku!

Aku balik menatapnya – kali ini lebih dalam. Dan tiba-tiba, seolah di luar kesadaranku,  terucap lirih kata kata terimakasih dari bibirku. Bersamaan dengan itu fikiranku melayang ke beberapa kejadian sebelum akhirnya aku duduk di sini!

….**….

Hari sudah menjelang maghrib, ketika ratusan penumpang berjejal memenuhi peron stasiun Brambanan, kurang lebih satu kilometer dari kampungku, Sanggrahan. Saat itu musim liburan panjang sehingga jumlah penumpang membludak, lebih dari biasanya. Aku  di antar kakakku, Mas Joko, bersiap mengadu nasib, mau mendaftar ujian masuk STAN periode 1989. Ini kali pertama aku ke Jakarta. Pendaftaran masuk STAN tinggal  2 hari lagi. Setelah diberi pengertian oleh kedua orang tuaku, aku akhirnya menuruti kemuauan mereka untuk mendaftar STAN. Pikirku, khan baru mendaftar, belum tentu di terima, paling gak aku ingin menunjukkan bahwa aku punya kemauan baik membahagiakan orang tuaku dengan menuruti keinginan mereka.  Selain itu tidak ada keinginan lebih. Bahkan rayuan Masku untuk mengantar keliling Jakarta juga tidak membuatku menjadi lebih tertarik untuk ke Jakarta.

Masih sambil menunggu kereta datang, aku melirik  tasku. Tas yang sudah cukup uzur yang biasa menemaniku sekolah selama di SMA. Kalau gak salah tas itu hadiah dari Bapak ketika kenaikan kelas I SMA ke kelas 2 aku mampu menempatkan diri di posisi lima besar.  Posisi itu cukup bersusah payah ku-raih karena SMA-ku termasuk SMA favorit di kotaku, dan terkenal mengoleksi segudang anak pintar dengan prestasi terbaik di masing-masing SMP-nya dulu. Kami kemudian bersaing untuk menjadi yang terbaik di kelas masing-masing. Tasku tidak besar dan hanya memuat dua set baju untuk ganti selama di Jakarta. Bukan gak mau bawa banyak-banyak. Aku memang tidak mempunyai banyak baju yang khusus di pakai untuk pergi, selain baju seragam SMA. Maklum saja, memang gaya hidup asa itu tidak seperti sekarang. Kami jarang sekali pergi ke mana-mana. Paling-paling kalau hari minggu kami nyepeda sediri ke padar prambanan sekedar melihat-lihat keramaian. Selain itu ekonomi Bapak memang masih pas-pasan sehingga alokasi anggaran untuk baju pergi sangat terbatas. Baju yang kupakai adalah baju terbagus yang pernah aku punya. Warna hijau pupus bergaris-garis coklat. Dibelikan bapak waktu aku mau ikut kursus bimbingan belajar Gama 81, paska lulus dari SMA. Sementara itu aku memakai celana jeans, lungsuran dari Mas Joko karena dia sudah kesempitan. Dari jauh masih terlihat cukup bagus, hanya bagian pinggang saja masih kebesaran. Tapi   aku kasih tahu saja, sebenarnya ini rahasia! Ritsleting celana itu dah macet, gak bisa di tarik ke atas. Jadi aku keluarin saja bajunya supaya tidak kelihatan. Yah gak pa pa lah, untuk ukuran tahun 1989, sepertinya aku dah cukup “nggaya”!

Tiba-tiba lamunanku buyar. Mas Joko menyenggol bahuku, “Siap-siap le! Keretanya datang!. Aku terhenyak, tiba-tiba saja seluruh penumpang merangsek menyebabkan peron terasa semakin penuh. Dari jauh kereta ekonomi  jurusan Solo-Jakarta sudah terlihat. Suaranya bergemuruh. Masku memegang erat bahuku. Satu menit kemudian, kereta berhenti persis di depan peron.
Namun suasana tiba-tiba saja berubah menjadi kacau. Kereta itu ternyata begitu berjubel. Banyak penumpang yang sudah bergelantungan memenuhi pintu-pintu kereta. Tentu saja penumpang lain kesulitan untuk naik. Banyak yang berpindah dari satu pintu ke pintu lain, tapi kondisinya sama saja. Beberapa memilih short cut dengan naik melalui jendela kereta yang sebagian terbuka. Antara sadar dan tidak aku ikut berebut, Mas Joko mendorong aku ke atas, dan Alhamdulillaah, kakiku bisa berpijak di tanggak pintu kereta. Aku terus menyelusup ke dalam. Tapi kereta ini memang benar-benar penuh sehingga aku mentok di tangga ke dua. Persis di depan pintu WC kereta langkahku terhenti. Aku menegok ke sana ke mari , mencari Mas Joko. Hati ku deg-degan, aku tidak melihatnya. Pintu kereta sudah penuh orang dan beberapa memutuskan untuk menutup pintu-nya. Itupun kami terpaksa berimpit-impitan lagi agar pintu bisa tertutup. Aduh.. bagaimana ini! Kalau Mas Joko nggak terangkut bagaimana? Tiket dan uang di bawa Masku. Mau keluar lagi nggak mungkin juga.. kalau dia naik di pintu lain – dan aku gak bisa naik lagi – pasti aku akan dimarahi habis-habisan oleh orang tuaku. Tiba-tiba seorang setengah baya menyolek bahuku dan berkata,

“Mas tadi temannya pesan dia naik di pintu lain katanya, Mas disuruh tenang saja!”

 “Teman yang mana Pak?”  aku balik bertanya.

“Yang pakai kaos hitam, rambutnya agak njegrag itu! Dia pesan sama saya!” Balasnya lagi
“Oh syukurlah, itu kakak saya Pak, soalnya kalau dia gak bisa naik aku ndak tahu mau ngapain di Jakarta nanti!”

Aku sedikit tenang, namun tetap saja perasaanku masih bertanya-tanya, bisa naik gak ya dia di pintu lain? Mau mencari gak mungkin, bergerak saja susahnya minta ampun!

Pengalamanku naik kereta pertama ke Jakarta, benar-benar tidak terlupakan. Bayangkan saja semalam suntuk kami berhimpitan seperti itu, tidak ada makanan, tidak ada minuman (seingat saya waktu itu belum ada air minum kemasan).  Bahkan untuk bisa tidur dengan posisi duduk, kami harus bergantian dengan penumpang lain yang tiba-tiba menjadi saudara karena rasa senasib sepenanggungan. Pipis? Boro-boro, WC kereta saja penuh dengan penumpang. Bukan main, Indonesia-Indonesia! Bau? Sudah jelas. Bau keringat, remason, po’ping, minyak angin, dan…. Maaf mungkin ada yang gak kuat nahan ya… he he tidak usah aku ceritakan lah!
 
Aku sama sekali tidak tahu dunia luar, sampai di mana kereta… yang aku rasakan Cuma capek, pegal, kesemutan, haus dan pengin pipis, bercampur jadi satu. Namun semakin malam semua rasa itu tergantikan dengan kantuk yang akhirnya menolongku. Pas dapat posisi duduk, nggak lama aku pulas tertidur, terbuai irama alunan roda kereta yang beradu dengan relnya. Jakarta I’m coming!
(To be continued) (Sing nulis AB)