“Ya
sudah kalau kamu gak mau, silahkan kuliah di Gajah Mada, tapi cari biaya
sendiri. Bapak sudah nggak kuat ngragati
kamu. Ambil keputusan sekarang, mumpung belum banyak biaya yang Bapak keluarkan! Suara bapakku meninggi, wajahnya memerah. Kemudian
beliau bergegas meninggalkan aku yang masih terpaku berdiri. Beberapa orang yang kebetulan berada di dekat
kami memandangiku dengan berbagai ekspresi. Aku tertunduk. Suasana di belakang
kampus STAN Purnawarman yang sangat teduh tak kuasa menghalau kegundahan
hatiku.
Ultimatum
Bapak membuatku tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti kehendak beliau
untuk kuliah di STAN. Namun disisi lain
ke-akuanku bertahan. Aku ini anak mama, bagaimana mungkin aku membiayai sendiri
kuliahku di UGM? Terbayangpun tidak bagaimana bisa mencari uang dan hidup
mandiri. Justru hidup mandiri itulah yang membuatku keberatan untuk masuk
STAN. Pikiranku sama sekali belum bisa
menerima, tiba-tiba aku harus hidup sendiri, kost, jauh dari keluarga. Tak ada sanak Saudara
pula. Pola pikirku sebagai anak rumahan belum siap – tiba-tiba aku harus bangun
pagi sendiri, mikirin sarapan pagi sendiri, mencuci sendiri, kemungkinan
kehabisan uang karena kiriman belum datang, belum lagi kalau sakit, siapa yang
harus mengantar berobat, dan mungkin
hanya bisa pulang sekali dalam enam bulan.
Aku
menunduk, terbayang jelas ketiga kakak-ku yang sekarang belum bisa membantu
Bapak, mereka semua masih kuliah. Kakakku yang pertama memang sudah lulus dari
Kedokteran UGM, tapi masih koast (praktek magang). Entah kapan bisa
berkontribusi membiayai sekolah adik-adiknya. Kakak yang kedua dan ketiga juga
di UGM dan yang jelas, pasti masih lama lulusnya.
“Ah,
nasib-nasib” gerutuku dalam hati. Giliran aku yang harus kuliah, alokasi
anggaran Bapak untuk pendidikan anak-anaknya sudah melewati batas. Tak heran
Bapak sangat bersemangat mendorong aku untuk mendaftar di STAN, katanya
sekolahnya gratis, cepat bekerja, masa depan terjamin, bla-bla-bla… “Kenapa
juga aku harus jadi anak ke empat!, Kenapa juga mesti di terima di STAN” lanjutku, masih dalam hati.
Diam-diam
aku melirik dan mencari-cari di mana Bapak berada. Meskipun aku yakin beliau
tidak akan meninggalkanku sendirian di Jakarta yang asing ini, tapi terbersit
juga kekhawatiran itu! Bisa berabe nih kalau ditinggal sendirian. Mana aku
nggak pernah pegang uang lagi. Belum dipercaya! Ternyata beliau duduk di salah
satu warung di ujung jalan, kira-kira 50
meter dari tempatku berdiri. Mungkin jajan minuman. Aku tersenyum.
Berarti beliau masih menunggu, biarin saja, aku akan bertahan di sini. Aku
masih mau ngambek lagi, siapa tahu beliau luluh dan mengijinkan aku kuliah di
UGM. Dan membiayai juga maksudku! Aku yakin beliau nanti akan balik lagi ke
sini.
Aku
merogoh-rogoh saku celanaku.. siapa tahu ada uang receh. Haa… dapat! Aku hitung – ada tiga ribu rupiah! Aku
bergegas minggir dan memilih salah satu warung terdekat. Aku duduk dan memesan
Teh Botol. Si Abang dengan cekatan
segera membukakan satu teh botol dan menyodorkannya di hadapanku! Kebetulan di
warung itu hanya ada dua pembeli yang sedang makan soto, dan sudah terlayani.
“Makasih
bang” Ucapku. Tak lama kemudian dinginnya teh botol segera membasahi
kerongkonganku. Sedikit menyejukkan ditegah kegalauan hatiku. Tiba-tiba si
Abang bertanya, sok akrab “Daftar Ulang
ya Mas?” “Iya.” Jawabku pendek dengan nada yang menyiratkan untuk tidak
memperpanjang percakapan. “Jurusan apa Mas?” Si Abang ternyata melanjutkan
pertanyaannya. “Pajak” Jawabku, lagi-lagi singkat dan datar. Eh ternyata si
Abang nggak pernah sekolah komunikasi kali ya, dia masih melajutkan dengan gaya
sok menasihati lagi..
“Enak
tu mas, sekolah di situ.. Yang dah pada lulus sudah ketahuan – semuanya jadi
orang kaya! Mana kuliahnya gratis lagi, buku-buku dikasih, diongkosin pula! Ahh
seandainya saja aku yang lulus di situ, Bapak-ku pasti nanggep wayang semalam
suntuk!” Ocehnya..
Dalam hati aku berkata, nanggep wayang di mana-mana juga semalam suntuk Bang…!
Dalam hati aku berkata, nanggep wayang di mana-mana juga semalam suntuk Bang…!
“Disyukurin aja, gak usah dipikirin, jauh dari keluarga itu biasa! Lama-lama Mas akan jadi anak yang tangguh, ndak manja! Saya aja merantau tanpa bekal, SMP aja gak lulus.. eh namanya rejeki – ya ada aja buat sekedar hidup di Jakarta!”
Aku
terkesiap! Dari mana si Abang tahu aku sedang mikirin soal ini? Aku lirik dia,
usianya setengah baya, dan dari dialegnya memang perantauan asal Jawa Tengah
juga. Tau aku sedang memperhatikan, dia
nyeletuk lagi, “Banyak lho yang nagnis-nangis kemarin pas lihat pengumuman
tidak diterima!” Dia menatapku!
Aku
balik menatapnya – kali ini lebih dalam. Dan tiba-tiba, seolah di luar
kesadaranku, terucap lirih kata kata
terimakasih dari bibirku. Bersamaan dengan itu fikiranku melayang ke beberapa
kejadian sebelum akhirnya aku duduk di sini!
….**….
Hari
sudah menjelang maghrib, ketika ratusan penumpang berjejal memenuhi peron
stasiun Brambanan, kurang lebih satu kilometer dari kampungku, Sanggrahan. Saat
itu musim liburan panjang sehingga jumlah penumpang membludak, lebih dari
biasanya. Aku di antar kakakku, Mas
Joko, bersiap mengadu nasib, mau mendaftar ujian masuk STAN periode 1989. Ini
kali pertama aku ke Jakarta. Pendaftaran masuk STAN tinggal 2 hari lagi. Setelah diberi pengertian oleh
kedua orang tuaku, aku akhirnya menuruti kemuauan mereka untuk mendaftar STAN.
Pikirku, khan baru mendaftar, belum tentu di terima, paling gak aku ingin
menunjukkan bahwa aku punya kemauan baik membahagiakan orang tuaku dengan menuruti
keinginan mereka. Selain itu tidak ada
keinginan lebih. Bahkan rayuan Masku untuk mengantar keliling Jakarta juga
tidak membuatku menjadi lebih tertarik untuk ke Jakarta.
Masih
sambil menunggu kereta datang, aku melirik
tasku. Tas yang sudah cukup uzur yang biasa menemaniku sekolah selama di
SMA. Kalau gak salah tas itu hadiah dari Bapak ketika kenaikan kelas I SMA ke
kelas 2 aku mampu menempatkan diri di posisi lima besar. Posisi itu cukup bersusah payah ku-raih
karena SMA-ku termasuk SMA favorit di kotaku, dan terkenal mengoleksi segudang
anak pintar dengan prestasi terbaik di masing-masing SMP-nya dulu. Kami
kemudian bersaing untuk menjadi yang terbaik di kelas masing-masing. Tasku
tidak besar dan hanya memuat dua set baju untuk ganti selama di Jakarta. Bukan
gak mau bawa banyak-banyak. Aku memang tidak mempunyai banyak baju yang khusus
di pakai untuk pergi, selain baju seragam SMA. Maklum saja, memang gaya hidup asa
itu tidak seperti sekarang. Kami jarang sekali pergi ke mana-mana.
Paling-paling kalau hari minggu kami nyepeda sediri ke padar prambanan sekedar
melihat-lihat keramaian. Selain itu ekonomi Bapak memang masih pas-pasan
sehingga alokasi anggaran untuk baju pergi sangat terbatas. Baju yang kupakai
adalah baju terbagus yang pernah aku punya. Warna hijau pupus bergaris-garis
coklat. Dibelikan bapak waktu aku mau ikut kursus bimbingan belajar Gama 81,
paska lulus dari SMA. Sementara itu aku memakai celana jeans, lungsuran dari Mas Joko karena dia sudah
kesempitan. Dari jauh masih terlihat cukup bagus, hanya bagian pinggang saja
masih kebesaran. Tapi aku kasih tahu
saja, sebenarnya ini rahasia! Ritsleting celana itu dah macet, gak bisa di
tarik ke atas. Jadi aku keluarin saja bajunya supaya tidak kelihatan. Yah gak
pa pa lah, untuk ukuran tahun 1989, sepertinya aku dah cukup “nggaya”!
Tiba-tiba
lamunanku buyar. Mas Joko menyenggol bahuku, “Siap-siap le! Keretanya datang!.
Aku terhenyak, tiba-tiba saja seluruh penumpang merangsek menyebabkan peron
terasa semakin penuh. Dari jauh kereta ekonomi
jurusan Solo-Jakarta sudah terlihat. Suaranya bergemuruh. Masku memegang
erat bahuku. Satu menit kemudian, kereta berhenti persis di depan peron.
Namun
suasana tiba-tiba saja berubah menjadi kacau. Kereta itu ternyata begitu
berjubel. Banyak penumpang yang sudah bergelantungan memenuhi pintu-pintu
kereta. Tentu saja penumpang lain kesulitan untuk naik. Banyak yang berpindah
dari satu pintu ke pintu lain, tapi kondisinya sama saja. Beberapa memilih short cut dengan naik melalui jendela
kereta yang sebagian terbuka. Antara sadar dan tidak aku ikut berebut, Mas Joko
mendorong aku ke atas, dan Alhamdulillaah, kakiku bisa berpijak di tanggak
pintu kereta. Aku terus menyelusup ke dalam. Tapi kereta ini memang benar-benar
penuh sehingga aku mentok di tangga
ke dua. Persis di depan pintu WC kereta langkahku terhenti. Aku menegok ke sana
ke mari , mencari Mas Joko. Hati ku deg-degan, aku tidak melihatnya. Pintu
kereta sudah penuh orang dan beberapa memutuskan untuk menutup pintu-nya.
Itupun kami terpaksa berimpit-impitan lagi agar pintu bisa tertutup. Aduh..
bagaimana ini! Kalau Mas Joko nggak terangkut bagaimana? Tiket dan uang di bawa
Masku. Mau keluar lagi nggak mungkin juga.. kalau dia naik di pintu lain – dan
aku gak bisa naik lagi – pasti aku akan dimarahi habis-habisan oleh orang
tuaku. Tiba-tiba seorang setengah baya menyolek bahuku dan berkata,
“Mas
tadi temannya pesan dia naik di pintu lain katanya, Mas disuruh tenang saja!”
“Teman yang mana Pak?” aku balik bertanya.
“Yang
pakai kaos hitam, rambutnya agak njegrag
itu! Dia pesan sama saya!” Balasnya lagi
“Oh
syukurlah, itu kakak saya Pak, soalnya kalau dia gak bisa naik aku ndak tahu
mau ngapain di Jakarta nanti!”
Aku
sedikit tenang, namun tetap saja perasaanku masih bertanya-tanya, bisa naik gak
ya dia di pintu lain? Mau mencari gak mungkin, bergerak saja susahnya minta
ampun!
Pengalamanku
naik kereta pertama ke Jakarta, benar-benar tidak terlupakan. Bayangkan saja
semalam suntuk kami berhimpitan seperti itu, tidak ada makanan, tidak ada
minuman (seingat saya waktu itu belum ada air minum kemasan). Bahkan untuk bisa tidur dengan posisi duduk,
kami harus bergantian dengan penumpang lain yang tiba-tiba menjadi saudara
karena rasa senasib sepenanggungan. Pipis? Boro-boro, WC kereta saja penuh
dengan penumpang. Bukan main, Indonesia-Indonesia! Bau? Sudah jelas. Bau
keringat, remason, po’ping, minyak angin, dan…. Maaf mungkin ada yang gak kuat
nahan ya… he he tidak usah aku ceritakan lah!
Aku
sama sekali tidak tahu dunia luar, sampai di mana kereta… yang aku rasakan Cuma
capek, pegal, kesemutan, haus dan pengin pipis, bercampur jadi satu. Namun
semakin malam semua rasa itu tergantikan dengan kantuk yang akhirnya
menolongku. Pas dapat posisi duduk, nggak lama aku pulas tertidur, terbuai
irama alunan roda kereta yang beradu dengan relnya. Jakarta I’m coming!
(To
be continued) (Sing nulis AB)