Kangen Deso -->

Header Menu

Kangen Deso

Rabu, 24 Oktober 2012

Duapohontua, penaungkuburan di timur Kemudo, dekat rumah Tarjo, yang sekarang jadi pejabat di Jakarta. Masih dengan latar belakang Pegunungan Seribu

Sudah dua minggu lebih saya dan Ustadz Edris membuat beberapa tulisan pancingan di blog ini, namun belum ada tanda-tanda bahwa pancingan kami memperoleh hasil. Baru Ustadz Suroso yang mengirimkan artikel. Itu pun katanya murni mengambil dari artikel lain. Den Baguse Wijiyono yang janji nulis perjalanannya ke Spanyol dan Itali, kayaknya masih kerepotan dengan berbagai tugasnya  sebagai guru. Apalagi sejak beliau memenangkan berbagai kontes guru terbaik se-Indonesia, kelihatannya semakin sulit beliau diganggu waktunya. Padahal dalam bayangan saya sih, perjalanan menjelajahi dua negara yang terkenal elok tersebut, mestinya bisa jadi satu serial tersendiri, atau bahkan jadi satu buku-lah. Mudah-mudahan it’s just a matter of timeya! Kita tunggu saja.

Selain beberapa pengantar dari Ketua, praktis blog ini sementara didominasi tulisan-tulisan Ustadz Edris. Wah gawat ni... he-he, bisa jadi nanti teman-teman nganggap – semua tulisan mesti bernada dakwah seperti tulisan pak Ustadz. Padahal kolom-kolom yang disediakan khan beragamya? Sepertinya dah tiba waktunya buat saya untuk kembali melakukan kegiatan “memancing”. Kali ini dengan tulisan yang harus lebih enteng... yang mudah-mudahan dapat membuat teman-teman forsipannam berkata “Wah, kalau Cuma nulis begini mah saya juga bisa!! Ok-lah besok saya kirim tiga!! He..he..

Baiklah, saya mulai saja!

Tak terasa, sudah 23 tahun lebih sejak aku meninggalkan kampung halamanku, dusun Tegal Sanggrahan, Kec. Prambanan, Kab. Klaten. Ya selepas SMA, takdir menuliskan aku untuk meneruskan kuliah di sebuah pendidikan kedinasan milik Kementerian  Keuangan, di ibukota, Jakarta.Terus  nyambung kerja, menikah dan punya anak-anak, serta tinggal di Jakarta.

Kalau ditanyakan apakah aku kerasan? Sulit untuk menjawabnya. Hanya ada perbedaan tipis antara kerasan atau terpaksa harus kerasan karena “terlanjur basah” di ibukota. Mungkin juga karena belum ada pilihan lain yang lebih baik. Seringkali ketika jenuh dengan beban berat ibukota, beban kerja di kantor, macet dijalanan, masalah lingkungan yang sangat kompleks, sulitnya menjaga anak-anak dari pergaulan yang tidak benar dan segudang masalah lain, tiba-tiba aku sering merasakan gendengan kampun gataun deso-ku yang adem-ayem-tentrem.

Aku teringat lagu “Desaku” yang sering kunyanyikan sewaktu kecil dulu, yang salah satu baitnya berbunyi...


“Tak mudah kulupakan – tak mudah bercerai – selalu kurindukan – desaku yang permai”

Panen Ketimun (ketok e sing bener mentimun deh-red) di Sawah Pakdhe Joko, Muruh

Sepertinya syair lagu tersebut benar. Buktinya setelah 23 tahun kutinggalkan, aku tetap merindukan semilir angin, hijaunya sawah dan pepohonan, serta kicauan burung-burung di kampungku. Dari segi landscape, kampung kusih sebenarnya tidak terlalu istimewa, tidak seperti kampung-kampung di Garut, Bukit Tinggi, atau di Wonosobo yang punya landscape gunung-gunung yang megah dan udara yang sejuk. Bukan juga suasana pantai yang indah dengan air yang jernih dan pohon kelapa dan pasir pantai yang putih.

Kampungku yang biasa-biasa saja, terletak di jalan raya Jogja-Solo, kurang lebih 1.5 Km ditimur Candi Prambanan. Datarannya rendah dengan udara cukup panas. Kalau kita berada di sawah dan udara sedang cerah,  di sebelah utara akan kelihatan GunungMerapi yang menawan sebagai background, dan di sebelah selatan berderet rapi, sambung-menyambung dari arah barat ke timur ratusan bukit yang di kenal dengan Pegunungan Seribu. Kalau di lihat dari udara, di antara Gunung Merapi dan pegunungan seribu tampak sebagai kotak-kotak sawah dengan berbagai tanaman: padi, sayur-sayuran seperti kacang tanah, kacang panjang, kobis, ketimun atau jagung maupun tembakau (tergantung musimnya). Kotak-kota sawah tersebut berpadu dengan desa-desa mungil di tengah-tengahnya.

Sawah yang hijau dan berembun dengan latar belakang Pegunungan Seribu yang  berbaris rapi. One lazy morning, Kongklangan.

Pohon besar itu, kalian bisa belajar sampai tertidur di atasnya lho…




Anak-anak cari ikan di empang pakdhe Sri, ceria..!!

Langit masih terbentang indah dengan warna biru. Pemandangan yang sulit didapatkan lagi di Jakarta. Di kampungku, musim kemarau dan musim penghujan masih bergulir relatif teratur, tidak seperti di  Jakarta yang sudah tidak jelas lagi kapan musim panas dan kapan musim penghujan. Di musimkemarau udara pada malam hari bisa sangat dingin sehingga AC tidak diperlukan di sana.
Misty Sun Rise, sawah  dan pohon kelapa. Sebelah barat rumah Samsuriyanto

Aah... jadi kangen pengin pulanglagi. Terbayang kembali betapa damainya saat aku baca buku di pagrok pinggir sawah, diterpa semilir angin yang berhembus sepoi-sepoi, ditingkah oleh kicauan burung-burung kecil yang beterbangan kian kemari,  dan disempurnakan dengan alunan “klonengan” dari radio transistornya Pakdhe Ratno, membuat aku makin terlena dan akhirnya terlelap dalam mimpi. Sayup-sayup masihku dengar alunan lagu “Desaku” ya ng sedang kami nyanyikan bersama-sama,  di salah satu kelas di SMPN Prambanan, tidak jauh dari situ.

Aisyah jadi penjual buah di sini . Pepaya, mangga, pisang, jambu… Semua zada di kampong-ku..!!

“Selaluku rindukan….Desa-ku yang permai…!!”
(sing nulis:  AB)